Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti baikan. Dalam pengertian kedua, kata “halalan” terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik. Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain makna diperkenankan, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Dalam Al Qur’an, (Ali 'Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain.
Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar